1.01.2014

[Repost] Short story: Sebuah Ikatan Cinta (A bond of love)

An Introductory Remark

Just yesterday, we discussed our opinion about Indonesian language - Bahasa Indonesia. This language is underrated in many ways even by the speakers of the language. However it has its own beauty. It may seem that Bahasa Indonesia does not have a very complicated grammar rules, but when people pay attention to what they say or write the true beauty of Bahasa Indonesia will reveal. It is ashamed that the beauty of the language is overshadowed with new terms that somehow which is, in my opinion, destructive to the language itself. Some people raise an argument saying that every language grows and this is how Bahasa Indonesia develop. I said, if it really grow, the basic of the language won't be neglected. But how do I know?

In the first post of this year, I want to share my writing. It was written more two years ago but I keep it private in another blog. Several friends of mine has already read it and I think it would not be a problem to share it to others right now. This is a short story in Bahasa Indonesia, as I want to regard the language. It would not be perfect, some of you may find flaws in this short story. All criticism would be very appreciated.


“Ini saja. Yang ini akan sangat sempurna.”

Aku merasa bahagia mendengar Ia akan memilih aku. Aku akan menjadi perlambang ikatan antara Ia dan Dia. Suatu ikatan yang teramat kuat, bukan hanya lambang cinta namun lebih dari itu sebuah lambang dari perjanjian yang teguh bagi mereka berdua. Aku merasa bahagia karena diriku begitu sederhana namun menjadi pilihan Ia. Aku tahu ada banyak pilihan di muka bumi ini yang bisa menjadi pilihannya.

Diriku diperlakukan dengan begitu agung, diletakkan dalam tempat yang begitu indah dan beraroma sangat segar. Tempat itu dihiasi dengan hiasan-hiasan yang sangat menarik berwarna keemasan dengan taburan manik-manik warna-warni. Aku merasa ini agak sedikit berlebihan. Aku menjadi sedikit merasa takut, rasanya aneh ketika kesederhanaan bersanding dengan kemewahan dan euforia. Akan tetapi, aku menepis semua perasaan itu. Aku kembali ingat bahwa perlakuan istimewa ini sebenarnya berkaitan dengan ikatan yang akan terkukuhkan nanti, bukan semata-mata karena diriku. Dan aku tahu, ikatan itulah yang jauh lebih penting.

Hari demi hari berlalu. Kusaksikan kesibukan yang luar biasa, orang-orang yang berlalu lalang, menelepon, mengatur ini dan itu. Semua orang tampak sibuk. Lelah namun begitu bersemangat. Proses seperti ini kudengar sangat wajar terjadi menjelang pengukuhan ikatan itu. Aku juga merasa bersyukur. Waktuku akan semakin dekat.

Beberapa hari berlalu, kulihat Ia mempersiapkan pakaian yang begitu indah. Aku yakin, Ia akan tampak gagah layaknya seorang raja dalam pakaian itu. Di tempat lain, aku juga percaya Dia tengah berbunga-bunga hatinya melihat pakaian yang begitu cantik. Mungkin Dia telah merasakan menjadi seorang ratu bahkan sebelum hari pengikatan itu dimulai. Aku turut berbahagia untuk mereka.

***

Hari yang dinanti telah tiba. Kepanikan-kepanikan yang mengawali ini masih tersisa sedikit, namun sebagian besar energi yang terpancarkan adalah kesyahduan dan keagungan. Semua tampak seragam dalam balutan busana nan serasi. Semua tampak takzim dan khusyu’. Ini adalah hari yang sangat penting.

Semua orang duduk dan takzim menyaksikan prosesi sederhana. Adalah dua pria, salah satunya Ia, mereka mengumandangkan suatu perjanjian. Dua kali namaku disebut, masing-masing sekali oleh kedua pria itu. Tak lama, telah disahkan bahwasanya Ia dan Dia kini bersatu.

Tak lama seorang pria sepuh membaluri peristiwa itu dengan kata-kata nasihat bagi Ia dan Dia. Keduanya mendengar dengan takzim. Sesekali mereka mengangguk. Aku bahagia, sebab di dalam kalimat-kalimatnya namaku disebut kembali. Pria itu mengatakan bahwa karena ikatan mereka bersematkan diriku maka Dia harus menggunakan diriku sebaik-baiknya. Menggunakan diriku untuk menuju Allah. Adapun bagi Ia, dirinya mesti mengajari Dia dengan sebaik mungkin untuk menuju Allah. Ia adalah pemimpin bagi Dia, dan Dia adalah penjaga bagi harta dan kehormatan Ia. Kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban mengenai peran masing-masing. Hari ini begitu sempurna, bukan saja karena ikatan yang telah terkukuhkan ini, tetapi bahwa ada peran besar menantiku dalam perjalanan kehidupan mereka. Setidaknya itulah yang kubayangkan.

Akhirnya segala pesta telah usai, hiruk-pikuk perlahan memudar, hanya kebahagian tersisa. Kini Ia dan Dia telah tinggal bersama, mengarungi kehidupan yang berbeda sebagai pasangan. Diriku diletakkan dalam ruang khusus, mereka menyebutnya lemari. Ruangan ini gelap. Namun aku percaya bahwa ada saatnya mereka akan membuka lemari ini dan menggunakanku sebagaimana mestinya. Mungkin mereka masih dalam suasana penuh romantisme, walaupun aku tahu itu sama sekali bukan alasan untuk mengabaikanku semacam ini. Aku tahu, mereka pergi dalam suatu perjalanan yang disebut bulan madu.

Seminggu berlalu, mereka telah kembali, namun lemari ini belum dibuka. Aku masih menunggu dengan sabar. Aku berharap bahwa diriku akan digunakan sebagaimana mestinya, menjadi tanda pendekatan diri kepada Allah. Pagi, siang, sore, malam, waktu terus berlalu namun tiada kudengar lantunan ayat-ayat suci dari rumah ini. Ah… rasa sedih kini melanda diriku.

“Sayang, kita pergi jalan ke pantai yuk,” terdengar suara Ia yang gagah. Betapa seringnya kudengar kalimat-kalimat semacam ini. Ke pantai, mall, taman kota, dan berbagai tempat bersenang-senang lainnya. Namun tak pernah kudengar bahwa mereka akan ke masjid, pengajian majelis ta’lim. Diriku semakin terlupakan tampaknya.

Waktu kian berlalu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan terasa bahwa cinta mereka tidak sehangat dulu. Sejumlah pertengkaran mulai muncul.

“Kamu ngga’ pernah mengerti aku,” suara Dia melengking, “semua selalu tentang keinginanmu.”

“Kamu ini bawel banget, sih,” jawab Ia ketus.

Mendengar pertengkaran itu, aku mulai bertanya, mengapa mereka menjadi seperti ini. Dari pertengkaran-pertengkaran mereka kusimpulkan bahwa Ia terlalu sibuk bekerja, dan si Dia punya banyak keinginan. Keduanya membuat alasan demi alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Ia bilang bahwa waktu bekerjanya pada akhirnya buat mereka juga. Dia berkata bahwa kebutuhan hidup bertambah tiap waktu dan wajar baginya minta ini dan itu. Perdebatan ini terasa sangat tidak masuk akal dalam hal konsistensi. Bukankah dahulu di awal-awal mereka seolah-olah tercukupkan dengan apa yang ada dan  sepercik cinta yang ada di antara mereka. Mereka mulai lupa dengan romantisme yang ada dahulu.

Mungkin alasan atas ikatan mereka bukanlah alasan yang benar-benar kuat. Namun bukankah mereka telah membuat komitmen itu. Dan mereka tidak mencoba melihat kembali hal-hal yang bisa menyatukan mereka, termasuk diriku.

Warnaku mulai memudar namun bukan karena sering dipakai. Pengap ruangan ini telah mengundang sejumlah binatang. Mereka menggigiti diriku, bahkan membuang kotorannya di atas tubuhku. Badanku mulai lapuk di makan usia, namun aku tidak mampu berbuat apa-apa. Aku masih menanti.

Satu hal yang kusyukuri adalah mereka mampu bertahan, dan dengan kehadiran beberapa buah hati mereka, ikatan batin itu seolah menguat. Namun aku masih tidak tahu, ke depannya akan seperti apa. Aku masih tidak tersentuh.

Buah hati mereka beranjak besar. Aku sangat berharap bahwa Ia dan Dia mulai mengajarkan mereka hal-hal yang menuju Allah. Namun semua tampaknya hanyalah angan-angan kosong. Keduanya tetap sibuk dengan urusan masing-masing. Suara televisi mendominasi sebagian besar waktu si buah hati. Mereka mulai belajar untuk berkata-kata tidak sopan, tidak menghormati orang tua. Tanpa sadar mereka melakukan mimikri yang sangat sempurna dengan tokoh-tokoh dalam sinetron, infotainment, bahkan dari berita-beritanya. Aku telah pasrah tidak akan digunakan untuk mengajarkan buah hati mereka, atau untuk sekedar disentuh atau diingat. Tetapi aku berharap, ada waktu buat mereka untuk belajar kembali pada Allah.

Sesungguhnya harapanku muncul setiap tahun, ketika Ia membelikan Dia dan buah hatinya benda serupa aku menjelang hari yang disebut Hari Kemenangan. Namun kembali, benda-benda itu menumpuk di lemari dan terlupakan. Bagiku dan saudari-saudariku, yang terpenting adalah dipergunakan sebagaimana mestinya, walaupun hanya salah satu dari kami. Namun hal itu belum terjadi dan entah kapan terjadi.

Waktu berjalan demikian lama. Tak terasa para buah hati telah melanglang buana mengarungi kehidupan masing-masing. Tak lama kudengar, ada saudariku yang lain mendapat kehormatan seperti diriku bagi buah hati mereka dan calon pasangannya. Aku berharap bahwa kejadian serupa tak akan menimpa saudariku itu, seperti yang kualami atau jutaan saudarinya yang sudah lebih dahulu memperoleh peran ini.

Waktu berlalu, namun diriku masih tak tersentuh. Kini hanya rasa takut yang mengusaiku, menjelang usia sepuh mereka. Diriku yang dahulu menjadi tanda ikatan mereka, apakah akan menjadi saksi mereka atas ketidakpedulian mereka atas hukum-hukum Allah. Aku tidak tahu….

***

“Saya nikahkan anak saya, Fulanah binti Fulan, dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya anak Bapak, Fulanah binti Fulan, dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

No comments: