1.04.2014

[Repost] Short story: Pengadilan Cinderella (A court for Cinderella)

An Introductory Remark

Here I share a short story I wrote two years ago. Again, I wrote it in Bahasa Indonesia, so I keep it without translating it into English. This story is simply my opinion on some of children's tales that bring deconstructive insights to children. Although this short story is meant to criticize some aspects of children's tale I said before, this is completely not a reading for kids.

I think, some of the children's tales give a wrong direction about dreaming. The stories lead to think that kindness only that brings fortune to the hero/heroine of those. I agree that tales can encourage children to dream, but they also have to contain values that can accompanying the dream to be real. A dream need action; it does not wait for a fortune comes by itself . This is what I want to note by this writing. However, I believe there are many tales that stimulate children to dream, altogether with real values that can bring a dream into reality. 

Before I launch the short story, I want to apologize for taking a well-known character in the world of story-telling just to give a 'punch'. However, afterward, children's tales is about imagination; whoever wants to gives a story-telling for children can exercise the same character all over again with a different nuance.

“Pengadilan memanggil tergugat satu, Ibu Peri Baik Hati, dan tergugat dua, Cinderella, serta tergugat tiga, Pangeran Tampan Negeri Antah Berantah, ke dalam ruang sidang,” suara lantang pengawal memanggil tiga orang tergugat dalam kasus pernikahan Cinderella dan Pangeran Tampan Negeri Antah Berantah. Ruang sidang itu tampak sesak karena baru kali ini ada keberatan akan pernikahan Pangeran dan gadis malang nan jelita. Pernikahan semacam itu seperti menjadi suatu keniscayaan, dan hal itu telah dipercaya berabad-abad lamanya. Kini semua dipertanyakan dan ditentang oleh para saudara tiri Cinderella. Menurut mereka, walaupun mereka kerap kali disebut jahat, ketidakadilan mesti dihapuskan dari muka bumi. Dan sang Raja Bijak Negeri Antah Berantah yang adil mau mendengarkan keberatan rakyatnya tersebut serta menyidangkan perkara tersebut, walaupun tergugatnya adalah anak, menantu, dan bahkan Ibu Peri yang membantu menjaga ketenteraman Negeri Antah Berantah.

“Sidang keberatan pernikahan antara Cinderella dan Pangeran Tampan dibuka,” hakim berkata sambil mengetukkan palu tiga kali. Kemudian setelah beberapa prosesi awal pengadilan, sidang keberatan itu akhirnya dimulai dengan sejumlah pertanyaan jaksa pada para tergugat.

“Ibu Peri, apakah benar Anda telah membantu Cinderella untuk menikah dengan Pangeran Tampan dengan menggunakan kesaktian Anda?”

“Saya memang membantu Cinderella untuk datang ke pesta ulang tahun Pangeran,” tukas Ibu Peri, “tetapi pernikahan itu adalah karena pilihan mereka. Pangeran yang telah jatuh cinta dan memilih menikah dengan Cinderella.”

“Argumen yang bagus Ibu Peri,” lanjut Jaksa, “tetapi dapat saya katakan bahwa Ibu Peri adalah orang yang bertanggung jawab pada perubahan penampilan Cinderella.”

“Betul, tapi…”

“Maaf Ibu Peri, saya tidak meminta penjelasan lebih lanjut. Saya cuma butuh pengakuan Ibu Peri sekarang.”

Ibu Peri terpaksa harus menahan diri. Baginya ada sejuta alasan untuk melakukan tindakannya pada Cinderella.

“Ibu Peri, saya minta Anda menjawab pertanyaan saya. Bagaimana pandangan Ibu Peri tentang ketidakadilan?”

“Itu adalah perkara yang tidak bertanggung jawab dan sangat melanggar moral.”

“Jawaban bagus, Ibu Peri. Satu pertanyaan saya kalau begitu, apakah membantu seseorang menikah dengan Pangeran dengan melakukan sihir dan mantra adalah perbuatan yang adil?”

“Hmmm…, tetapi Cinderella adalah gadis baik. Dia selalu dianiaya oleh ibu tiri dan dua saudarinya.”

“Itu tidak menjawab pertanyaan saya, Ibu Peri. Saya minta Anda menjawab pertanyaan saya.”

“Keberatan, Yang Mulia,” suara nyaring pengacara para tergugat memotong percakapan itu.

“Keberatan ditolak,” kata sang hakim berwibawa.

“Tetapi yang mulia…,”

“Tuan pengacara, pertanyaan saya merupakan pertanyaan penting bagi kasus ini. Hal ini adalah untuk menyelamatkan hak-hak wanita di negeri ini,” suara Jaksa memotong protes pengacara, “dan kepada Yang Mulia, saya harap Yang Mulia dapat melihat urgensi dari pertanyaan ini.”

“Silakan dilanjutkan, Tuan Jaksa,” kata hakim.

Jaksa menyampaikan ucapan terima kasihnya dan langsung menuju Ibu Peri dan melanjutkan proses yang tadi sempat terpotong.

“Baiklah Ibu Peri, silakan dijawab pertanyaan saya yang tadi!”

“Saya melakukan kebaikan pada Cinderella karena selama ini dia tidak diperlakukan dengan adil.”

“Lagi-lagi Anda tidak menjawab pertanyaan saya, Ibu Peri.”

“Ibu Peri, silakan jawab pertanyaan jaksa dengan lugas,” suara berat hakim terdengar tegas.

“Menurut saya, hal itu tidak bisa disebut ketidakadilan, karena saya membantu Cinderella.”
“Berarti jawaban Ibu Peri, itu adalah tidakan adil?”

“Ya! Saya pikir begitu.”

“Baiklah,” lanjut Jaksa, “pertanyaan berikutnya adalah, apakah memupus harapan ratusan wanita yang ada di pesta itu adalah sebuah tindakan yang adil Ibu Peri? Bukankah mereka sudah berusaha tampil dengan usahanya yang terbaik untuk memenangkan hati Pangeran? Sementara itu Anda membantu gadis ini dengan sihir dan mantra. Apakah itu adil buat para wanita-wanita tersebut.”

Ibu Peri tampak bingung dan salah tingkah, “Tetapi Cinderella baik hati.”

“Apakah semua wanita di pesta itu adalah sekumpulan orang-orang jahat sehingga hanya Cinderella yang harus dibantu?”

“Tetapi saudara tirinya…”

“Ibu Peri, tolong lihat ini sebagai sesuatu yang komprehensif. Saya tidak bicara atas nama saudara tiri Cinderella walaupun mereka yang menggugat Anda sekalian. Saya bicara atas nama seluruh wanita di negeri ini.”

Ibu Peri diam, tak mampu berkata-kata lebih lanjut.

“Saya pikir cukup, Yang Mulia,” tutup jaksa.

Berikutnya adalah bagian buat pengacara untuk memberikan pertanyaan. Pertanyaan pengacara berkutat pada kebaikan Ibu Peri dan keteraniayaan Cinderella oleh keluarganya.

“Ibu Peri, apakah alasan Anda menolong Cinderella?”

“Karena dia adalah gadis baik dan lembut hati. Namun keluarganya sangat tidak menyayangi dia.”

“Berarti Anda bisa bilang bahwa Cinderella adalah sesorang yang layak ditolong?”

“Demikianlah.”

“Ibu Peri, bisa Anda sebutkan lagi kasus-kasus lain yang pernah Anda lakukan buat penduduk negeri ini!”

“Ah… apakah perlu, Tuan Pengacara,” Tanya Ibu Peri bimbang, “bukankah ini seperti menonjolkan diri sendiri?”

“Tidak mengapa Ibu Peri. Ini agar majelis sidang mengerti dengan peran Ibu Peri buat orang-orang di negeri ini.”

Akhirnya Ibu Peri menceritakan berbagai perbuatan baiknya. Ada cerita tentang nelayan miskin yang mendapat harta karun dari jala yang ditebarnya. Ada pula cerita tentang penebang kayu jujur yang memperoleh kapak ajaib untuk membantu pekerjaannya. Dan masih ada beberapa cerita lagi.

“Saya pikir cukup, Ibu Peri. Saya dan majelis hakim serta semua orang di tempat ini cukup bisa melihat bahwa Anda melakukan itu semua karena kebaikan hati Anda. Dan Anda telah membatu sekian banyak orang yang memang membutuhkan pertolongan.”

Sang pengacara mencukupi percakapan itu dan berterima kasih kepada hakim. Kemudian hakim menawarkan pada Jaksa apakah ada yang hendak ditanggapi atau ditanyakan lagi. Jaksa berkata tidak ingin bertanya lagi, tetapi ingin menyampaikan satu hal. Hakim mengijinkannya.

“Saya ingin sidang ini bisa melihat bahwa kebaikan kerap kali patut dipertanyakan. Apakah sesuatu dianggap sebagai kebaikan ketika hal itu justru menjadi ketidakadilan bagi orang lain? Contohnya adalah kasus ini. Atau kasus nelayan tersebut. Ketika dia memperoleh harta karun hanya karena Ibu Peri melihat kemiskinannya maka ketidakadilan muncul buat para nelayan lain, bahkan para pekerja di bidang lain. Atau kasus penebang yang jujur, kapak itu membuat dia tidak perlu mengeluarkan keringat ketika bekerja, sementara teman-temannya dengan profesi yang sama harus berpeluh lelah untuk mengumpulkan sejumlah kayu yang sama banyaknya. Atau kasus-kasus lainnya.

“Saya tidak meminta majelis sidang untuk mengingkari kualitas manusia yang pernah ditolong Ibu Peri. Mereka baik hati, jujur, penyayang, rendah hati, dan sebagainya. Namun apakah dengan segala kualitas itu, mereka menjadi berhak mendapat suatu keistimewaan untuk memperoleh kemudahan-kemudahan hidup tanpa berusaha? Silakan direnungkan. Terima kasih Yang Mulia. Itu saja dari saya.”

Suara riuh rendah membanjiri ruang sidang. Hakim mencoba menenangkan mereka. Dan tak berselang lama, hakim memutuskan untuk mengistirahatkan sejenak proses sidang selama beberapa waktu.

Sidang kemudian dilanjutkan dengan memanggil tergugat kedua, yaitu Cinderella. Kesempatan pertama untuk bertanya pada tergugat diberikan kepada jaksa.

“Nona Cinderella, ah maaf… maksud saya Nyonya Cinderella istri dari Pangeran Tampan, apakah Anda merasa sehat hari ini?”

“Saya sehat, Tuan Jaksa.”

“Saya sangat prihatin mendengar kisah hidup Anda, terutama atas aniaya dari keluarga Anda sendiri. Apakah tak pernah terpikir oleh Anda untuk melepaskan diri dari belenggu ibu dan saudara tiri Anda?”

“Saya merasa tidak enak, Tua Jaksa.”

“Mengapa? Bukankah mereka telah menganiaya Anda?”

“Tapi mereka keluarga saya, Tuan.”

“Menurut Anda, apakah Anda adalah orang yang baik?”

“Saya tidak tahu, Tuan. Yang saya tahu saya tidak ingin menyakiti ornag lain.”

“Hmmm… saya rasa Anda adalah orang baik, namun saya pikir Anda bukan wanita yang cukup pandai.”

“Keberatan, Yang Mulia,” suara pengacara melengking, “perkataan jaksa sangat tidak etis. Mengatakan Nyonya Cinderella sebagai wanita tidak berpendidikan tak lebih dari suatu pembunuhan karakter bagi yang bersangkutan.”

“Keberatan dikabulkan,” kata hakim, “Tuan Jaksa, saya peringatkan Anda agar memilih diksi Anda pada persidangan ini.”

Jaksa meminta maaf, dan kemudian melanjutkan pertanyaannya pada Cinderella.

“Nyonya Cinderella, apakah Anda cukup sadar dengan respon-respon Anda selama ini?”

“Respon yang mana Tuan?”

“Respon di mana Anda membiarkan diri Anda disakiti oleh keluarga Anda. Anda telah memosisikan diri sebagai korban yang tidak berdaya. Betul begitu?”

“Saya memang kerap dianiaya, tetapi saya tidak dengan sengaja memosisikan diri sebagai pihak yang tidak berdaya. Saya tidak mampu keluar dari deraan perilaku mereka.”

“Ah, Nyonya begitu pandai berkelit. Respon Anda, adalah respon yang sengaja Anda pilih untuk menunjukkan ketidakberdayaan, padahal Anda punya kesempatan untuk berbuat sesuatu.”

“Maaf, Tuan Jaksa, apa yang bisa saya lakukan dengan deraan seperti yang mereka timpakan kepada saya?”

“Nyonya Cinderella, Anda tidak diperkenankan untuk bertanya dalam persidangan ini,” tukas hakim.

“Tidak mengapa Yang Mulia, pertanyaan Nyonya Cinderella akan saya jawab, dan ini akan menjelaskan banyak hal.

“Nyonya, pertanyaan Anda adalah pertanyaan bagus. Apa yang Anda bisa lakukan. Anda bisa melaporkan tindakan keluarga Anda pada penegak hukum negeri ini.
Respon Anda seolah menunjukkan bahwa hukum di negeri ini tidak sanggup mengatasi masalah Anda. Yang Anda lakukan adalah menunggu datangnya keajaiban. Bagi Anda itulah jawaban masalah Anda. Keajaiban itu memang datang pada akhirnya bagi ANDA, tetapi apakah Anda sadar bahwa sikap ketidakberdayaan yang Anda tunjukkan akan menjadi contoh bagi wanita penduduk negeri ini, membiarkan dirinya ditindas sembari menanti keajaiban datang. Respon Anda yang akhirnya dibacakan kisahnya di penjuru negeri telah membunuh karakter wanita yang tangguh, mandiri, dan siap berjuang buat hidupnya. Dari saya cukup, Yang Mulia.”

Cinderella tampak merah dalam kemarahan, namun ia hanya bisa membisu. Pengacara tampak kebingungan memikirkan pembelaan buat klien-nya.

Tak lama, hakim memberikan kesempatan pada pengacara untuk melakukan pembelaan. Pembelaan tersebut berkutat pada penderitaan dan kebaikan hati Cinderella. Alasan-alasan seperti itulah yang dianggap mewakili keberuntungan Cinderella memperoleh pertolongan Ibu Peri. Alasan-alasan itu terdengar sangat familiar seperti cerita negeri dongeng pada umumnya.

Sidang kemudian dilanjutkan dengan menampilkan tergugat ketiga, Pangeran Tampan.

“Pangeran Tampan, bagaimana kehidupan pernikahan Anda?”

“Sangat menyenangkan, penuh romantisme. Istriku adalah seseorang yang sangat sempurna,” jawab sang Pangeran berwibawa.

Jaksa tersenyum, “Ah, kami patut bersyukur bahwa Anda telah memilih orang yang tepat, walaupun ada suatu pertanyaan saya mengenai pilihan Anda.”

“Pertanyaan apa itu? Yang pasti saya tidak suka Anda menyudutkan istri saya.”

“Saya tidak akan menyudutkan beliau dalam pertanyaan ini. Pertanyaan saya, mengapa Anda begitu yakin bahwa sepatu kaca itu adalah pertanda bagi Anda untuk memilih seorang istri?”

“Hmm… itu berdasarkan naluri saja.”

“Luar biasa, Anda meletakkan hal yang begitu penting pada sesuatu yang bersifat naluri. Atau mungkin NAFSU?”

“Apa maksud Anda, Tuan Jaksa?” Suara Pangeran terdengar marah.

“Maafkan saya Pangeran, tetapi bukankah sepatutnya Anda memilih dengan bijak pendamping Anda. Bukan semata-mata pertanda yang boleh jadi hasil manipulasi?

“Anda tahu Pangeran, pilihan Anda yang gegabah semacam ini cuma membuat para wanita di negeri ini hidup dalam angan-angan. Mereka hanya bisa menanti datangnya pemuda-pemuda harapan tanpa mempersiapkan diri. Cara Anda telah mengajarkan secara tidak langsung pada para gadis di negeri ini berangan-angan kosong. Anda mungkin beruntung mendapatkan Nyonya Cinderella, demikian pula sebaliknya. Tetapi bagaimana nasib gadis-gadis negeri ini yang telah Anda berdua ajarkan berangan-angan kosong?”

“TUAN JAKSA, ini adalah kisah dari negeri dongeng, di mana semuanya harus sempurna!!”

“Ah, Pangeran, kesempurnaan itu ternyata membutakan. Bukankah dongeng diciptakan sebagai simbol dari realita? Mereka yang hidup di alam realita sepatutnya bisa memetik nilai berharga dari dongeng-dongeng yang diceritakan. Jika dongeng-dongeng datang untuk memberikan nilai-nilai semu, betapa realita yang saya pahami adalah realita yang menyedihkan.”

“Kamu!!!”

“Anda tidak perlu menjadi begitu emosional, Pangeran! Saya suma ingin mengajak Anda melihat respon apa yang telah Anda buat, agar semua orang bisa belajar. Bahwa kisah Anda terlalu sempurna buat kebanyakan orang di muka bumi ini. Anda bisa terus hidup dalam kesempurnaan itu, tetapi mereka tidak. Saya ingin mereka cukup sadar bahwa kisah sempurna Anda bukanlah kisah yang bisa sepenuhnya mereka petik nilainya. Kekeliruan Anda di sini hanyalah karena Anda mau mengambil bagian menjadi lakon dari cerita sempurna tersebut. Saya pikir cukup Yang Mulia."

Kesempatan pembelaan yang dilakukan pengacara tidak berbeda jauh dari sebelumnya, mengulang-ngulang keprihatinan dan kebajikan yang bersemat keberuntungan. Semua terasa begitu klise.

Proses selanjutnya adalah menghadirkan saksi. Masing-masing saudara tiri dan kemudian ibu tiri Cinderella dipanggil untuk memberikan kesaksian mereka.

“Nona, apakah Anda kakak tiri tertua Cinderella?”

“Betul.”

“Bagaimana sikap Cinderella?”

“Bagaiman ya…, saya suka geregetan melihat kepasrahan dia. Hal itu membuat saya justru semnakin ingin menyakitinya. Saya tahu hal itu bukan perbuatan baik, tetapi entah mengapa saya merasa ditantang oleh kesabaran model itu.”

“Hmm… menarik sekali apa yang Anda katakan Nona. Bukankah kebaikan sepatutnya Anda sambut dengan kebaikan?”

“Entah mengapa, saya merasa ketidakberdayaannya adalah bentuk konfrontasi kepada kami. Kepasrahannya seolah ingin menunjukkan bahwa kami adalah manusia durjana. Ini seperti lingkaran setan saja. Ini terus terang membuat kami marah.”

“Lalu bagaimana dengan pertolongan Ibu Peri pada Cinderella untuk ke pesta Pangeran.”

“Buat kami itu tidak adil. Benar kami telah berlaku jahat pada Cinderella. Tetapi apakah itu jadi alasan buat dia untuk dipersunting Pangeran? Kebaikannya, atau lebih tepat ketidakberdayaan yang ditunjukkannya, seolah-olah jadi senjata untuk memperoleh belas kasih Ibu Peri. Sementara kami harus berjuang keras berdandan untuk menarik perhatian Pangeran. Mungkin terdengar rendah, seorang wanita mencoba menarik perhatian Pangeran, tetapi kami melakukan itu semua dengan perjuangan. Tokoh Cinderella juga melakukan hal yang sama, tampil cantik dihadapan Pangeran. Beruntungnya dia karena penampilannya merupakan karya cipta sihir Ibu Peri. Pada dasarnya saya dan Cinderella hanyalah wanita kebanyakan yang berharap menjadi pusat perhatian.”

“Hmm… menarik. Saya cukupkan sampai di sini Yang Mulia.”

Pada gilirannya, pengacara mencoba mengkonfrontasi saudara tiri Cinderella. Akan tetapi, poin yang dijelaskan saudara tirinya saat ditanya jaksa sebelumnya demikian determinatif, membuat pertanyaan pengacara seperti tidak berbobot. Hal yang sama terjadi ketika saudara tiri yang lain serta ibu tirinya juga ditanya. Jawaban mereka nyaris serupa, baik ketika ditanya jaksa maupun pengacara.

Persidangan berlangsung cukup lama. Perdebatan antara pihak penggugat dan tergugat cukup menyita waktu. Argumen-argumen klise yang selama ini menjadi andalan cerita-cerita putri dan pangeran terus dilancarkan, seolah-olah itu adalah doktrin yang mesti dibenarkan. Adapun jaksa dengan cerdik membawa argumentasi dari ranah realita. Perdebatan sengit itu pada akhirnya harus diselesaikan juga. Keriuhan antara pendukung dua belah pihak mesti diredakan. Dengan pertimbangan panjang, akhirnya sang hakim membacakan putusannya.

“… dengan ini, Kami memutuskan bahwa pernikahan Pangeran Tampan dan Cinderella adalah sah secara hukum. Adalah tidak tepat membatalkan pernikahan mereka atas sebab-sebab yang telah disampaikan dalam gugatan ini. Pengadilan memutuskan mereka tetap sebagai sepasang suami dan istri. Akan tetapi, apa yang menjadi bagian dari kisah mereka adalah sesuatu yang merusak karakter, maka diputuskan bahwa Kisah Cinderella adalah cerita yang berisi nilai-nilai yang sangat manipulatif. Nilai-nilai di dalamnya secara implisit membawa nuansa abu-abu, bahkan secara akal sehat terasa bahwa terdapat sejumlah keburukan di samping sedikit kebaikan yang mungkin memang ada. Dengan ini Majelis Hakim, dengan saya sebagai Hakim Ketua, mengimbau agar para pendongeng menghapus cerita ini dalam daftar dongeng mereka atau menahan diri untuk tidak menceritakannya atau paling tidak menceritakannya dengan catatan-catan yang dilengkapi agar para pendengarnya tidak terjerumus dalam kemanipulatifan-kemanipulatifan yang telah disampaikan tadi. Terima kasih dan sidang ditutup. Keputusan bersifat final, namun keberatan dan usulan banding dapat diajukan dan ditinjau kembali.”

Gemuruh tepuk tangan membanjiri ruang sidang itu.

1 comment:

Unknown said...

ini lucu tapi emang bener siy hehehehe